Selamat Menikah, Kak.
Lima belas tahun lalu, bapak dan ibu mengantarkan salah satu anak perempuan ke asrama pondok pesantren. Pesantren itu milik salah satu kyai termasyur. Bapak bilang kenapa salah satu anaknya ditempatkan di asrama itu supaya anak-anaknya punya pengalaman yang berbeda satu sama lain.
Tak lama, aku tahu. Anak perempuan itu sempat kesal dengan bapak dan ibu karena harus menitipkan anaknya di asrama. Buku diary berwarna pink berisikan tulisan kekesalan itu masih teringat di kepalaku.
Aku sering diajak ibu untuk mengantarkan kebutuhanmu jika bapak telah menerima notifikasi pesan untuk segera memberikan kiriman. Aku ingat, saat itu aku masih kecil. Aku selalu ingin ikut tidur bersamamu di asrama itu. Teman-temanmu sering memanggilku, "adiknya Ilul".
Lima belas tahun kemudian, bapak, ibu, dan aku turut mengantarmu kembali. Bukan ke asrama lagi. Kami mengantarmu ke tempat yang akan selalu disebut rumah olehmu.
Bapak menangis, kak. Laki-laki yang kita tahu keras itu menangis saat apa yang ia punya diminta kepemilikannya. Apakah saat ini rasa senang meliputimu? Atau lagi-lagi merasa kesal dengan bapak dan ibu?
Kak, ibu selalu bilang selepas sholat jika ibu tahu kita sedang bertengkar,
"Anake ibuk cuma dua. Ojo tukaran. Cuma punya satu sama lain. Ibuk gur iso weling."
Dewasa ini aku tahu maksud ibu. Ternyata hidup denganmu dalam satu atap rumah yang dibangun oleh bapak tidak selama itu.
Kak, apakah suamimu mencintaimu dengan baik? Apakah suamimu menyayangimu? Apakah ia juga memperlakukanmu dengan baik? Rumahmu boleh berganti, tapi jangan pernah menganggap diri sebagai tamu di rumah sendiri, ya.
Aku tidak pernah lupa akan film yang selalu kita tonton berdua. Makanan renceng yang kita beli di warung langganan. Toko pernak-pernik lucu bercat putih yang sering kita kunjungi. Atau tempat-tempat menarik yang perlu kita datangi.
Aku yang selalu merasa paling memahamimu tak marah ada oranglain yang menggantikan posisi itu. Justru aku berterima kasih kepada orangtuanya karena telah mendidik anak laki-lakinya dengan baik sampai saudara perempuanku menjadikannya satu-satunya yang terbaik di hidupnya.
Sejak hari itu, aku menyadari setiap berangkat kerja tidak ada lagi kalimat, "Bye Minul, sampai jumpa nanti." atau kalimat memanggil, "Uclittttt." saat aku membukakan pintu untukmu lepas bekerja. Kamar itu kosong. Ibu hanya menunggu satu anaknya pulang ke rumah kak sekarang.
Terima kasih ya, kak.
Terima kasih selalu membelaku saat bapak dan ibu memarahiku.
Terima kasih mengupayakan apapun saat aku butuh.
Turut senang atas hatimu yang lega.
Selamat menikah, kak.
Aku tetap adik kecilmu, kan?
Comments
Post a Comment