Semesta itu Bernama Pikiran

 

Sewaktu usiaku mulai menginjak belasan, aku pernah berkeinginan untuk bisa mengelilingi dunia. Mungkin jika Tuhan berkenan, aku juga bisa mengelilingi seluruh alam semesta. Pada akhirnya, keinginanku sebatas ‘setidaknya setengah dari ini’.

Jika aku terlalu angkuh untuk berharap bisa mengelilingi dunia, ya setidaknya aku bisa mengelilingi tempat-tempat istimewa yang ada. Karena aku juga ingin terbang melihat angkasa yang begitu menakjubkan. Melihat segala bintang yang selalu aku lihat dari kejauhan. Melihat seluruh planet dan benda langit yang selama ini hanya kulihat secara 3D dengan bantuan situs interaktif tentang ruang angkasa.

Keinginanku tentu hanya berputar di kepala, sepertinya Tuhan juga tertawa melihat keinginanku yang satu ini. Malaikat sulit merangkai kalimat untuk menggambarkan cita-citaku di buku ajaibnya di mana di lembar pertama sudah tertulis namaku. Ternyata aku bukan hanya merepotkan isi kepala sendiri, tapi juga Sang Pemilik yang seluruh tempatnya ingin aku kunjungi.

Usia semakin bertambah dan keinginanku masih sama. Aku masih berusaha dan berharap suatu saat keinginanku yang sulit ini bisa terwujud, sampai akhirnya aku bisa bercerita kepada dunia bahwa aku bisa berdiri pada bagian-bagiannya. Ternyata ada satu hal yang aku ketahui sejalan dengan keinginanku ini.

Semakin bertambah usia aku semakin tahu, bahwa bukan hanya dunia yang ingin kukelilingi saja yang luas. Tapi juga pikiran dan alam sadar manusia. Pikiran dan alam sadar ini ternyata melebihi semesta. Mereka bisa melebihi batas-batasnya. Mereka mampu berputar tanpa harus memiliki poros. Mereka begitu liar. Terbukti dengan pikiranku sendiri yang senang berandai-andai.

Kalau pada akhirnya Tuhan memberikan restu-Nya untuk aku bisa mengelilingi alam-Nya, aku bisa mengendalikan apa-apa yang masih bisa kukendalikan dengan tanganku. Namun, itu tidak berlaku ketika aku harus menghadapi isi kepala manusia. Bahkan mereka mampu melebihi kehendak yang menciptakan.

Ketika aku berhadapan dengan manusia yang bertahan pada isi kepalanya, di saat itu aku berhadapan dengan segala sesuatu yang tentu tidak bisa aku kendalikan. Sekalipun aku berusaha untuk mereka mengerti sudut pandang dari isi kepalaku. Bahkan tugasku dua ketika harus berhadapan dengan situasi seperti ini. Memahami pikirannya yang entah kemana juga mengontrol emosional yang ada.

Kukira semestalah yang paling luas. Hingga pada akhirnya, aku tersadar bahwa Tuhan sedang memberi tahu sesuatu. Kalau dunia yang ingin kukunjungi satu per satu bisa kuperhitungkan, tapi tidak dengan pikiran makhluk Tuhan yang katanya paling sempurna ini. Mereka melesat bebas melebihi dirgantara yang ada dan tidak jarang melebihi sesuatu yang bisa dikuasai oleh manusia itu sendiri.

Bukan hanya hujan yang tidak dapat kita kendalikan. Namun juga manusia-manusia dengan segala apa yang diinginkannya. Entah itu dari pikiran atau hatinya yang seolah-olah bak nirmala. Ternyata yang tersulit bukan berusaha mewujudkan keinginanku tapi berusaha memahami dan menerima apa yang bukan jadi pikiranku.

Bahkan untuk saat ini, aku lebih rela memahami alam dengan segala keadaaan yang mengejutkan daripada harus memahami semesta bernama pikiran manusia yang bahkan aku tidak tahu kemana dia berputar dan sampai mana ia berhasil menguasai diri si empunya.

Comments