Diary Perjalanan Gapyear Ku (Menjadi Pekerja)
Alhamdulillah, sudah bagian dua
dari diary ku yang satu ini. Sudah lama tidak menulis. Banyak peristiwa ini itu
yang sudah dilewati. Mari, biar ku ceritakan satu per satu.
Seperti cerita ku dibagian
pertama, aku bekerja setelah satu hari purnasiswa. Jadi aku melamar pekerjaan
sebelum purnasiswa, begitu. Sebagian teman ku juga melakukan hal yang sama. Selain
biar punya uang jajan, kami anak SMK kadang menanggung beban malu ketika ada
yang bilang, “piye ra kerjo?”. Pertanyaan
ini berlaku untuk kami yang memutuskan gapyear atau tidak melanjutkan
pendidikan.
Tempat bekerja ku sangat
menyenangkan. Ruangannya dipenuhi pernak-pernik anak muda banget. Salah satu
perusahaan percetakan photobook
terbesar. Ini kali kedua aku merasakan kerja kantoran setelah dulu PKL. Bekerja kantoran bukan cita-cita ku, tapi
kalau dikasih jalan ya ngga nolak. Wkwk.
Tepat satu tahun lalu aku bekerja
disitu. Aku bekerja disaat ramadhan seperti ini. Menjadi customer service yang 8 jam harus berhadapan dengan handphone. Mengejar target. Menjadi pegawai
yang harus menjadi nomer satu. Ternyata bukan itu yang aku inginkan.
Emang betul, hidup bukan soal
yang kita inginkan.
Satu hal yang membuat ku menangis
satu itu, aku memang dikontrak freelance menggantikan pegawai tetap
ketika ramadhan dan libur hari raya. Yang biasanya ketika H+2 aku dan satu
rumah pulang ke Ponorogo, kali ini tidak. Bapak ku bilang aku mundur aja kalau
lebaran tidak libur.
Aku bertengkar. Satu minggu aku
tidak bicara. Ngga pake mikir dosa. Jangan ditiru ya.
Aku mempersilakan orang rumah
untuk mudik. Biar aku sendiri di rumah. Akhirnya, hanya kakak ku yang
berangkat, seperti biasa menggunakan KAI kesayangan kita semua dengan pramugara
dan kondektur selalu ganteng dan wangi. Nasi goreng mabelas ribu dan bantal warna ijo.
Aku hanya bekerja satu bulan. Setelah satu bulan, aku menerima
gaji pertama ku seumur hidup. Seperti niat diawal, gaji itu aku pakai untuk tes
daftar sana sini. Gaji ku diganti dengan semua penolakan.
Banyak orang yang bilang, aku
terlalu bodoh untuk masuk perguruan tinggi (negeri). Aku ngga punya apa-apa. Pinter
kaga skill ngga punya goblok iya. Aku mengiyakan itu semua. Tanpa pernah
membela dengan menceritakan apa yang aku punya.
Ketika SMK, ada satu teman
yang ingin bisa berfikir seperti aku, dibalik itu aku selalu ingin bilang, “ojo pernah pengen dadi aku. aku metu sitik
seko kene wes ra iso ngimbangi mikire wong-wong. aku iso ngene mergo aku isone
bersaing karo kalian.” Tapi ngga pernah keucap. Sampai sekarang.
Satu hal yang ingin aku
sampaikan. Aku tidak pernah marah dibilang bodoh. Sekalipun itu diartikan
dengan aku yang ngga bisa masuk di perguruan tinggi yang aku mau. Dengan orang
bilang begitu aku semakin sadar bahwa aku selalu kurang. Ilmu ku tidak pernah
cukup. Aku tidak pantas menggurui siapapun.
Dan satu hal yang selalu aku
lakukan, aku tidak pernah menceritakan apa yang aku punya. Aku pernah apa. Aku bisa
apa. Biar orang lain yang menceritakan itu semua sebagai jawaban bahwa aku juga
pernah melakukan sesuatu. Adakalanya kita menampar orang lain tanpa perlu
menggunakan telapak tangan sendiri.
Juga satu pesan dari sahabat nabi
yang selalu menjadi landasan. Asik.
Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang
menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu. – Ali bin
Abi Thalib
Comments
Post a Comment